Memahami Marah Secara Islami
Hal yang penting dipahami adalah bahwa tidak semua amarah atau emosi itu buruk (foto ilustrasi by paxels) |
Sabilurrahim.comSetiap orang pasti pernah marah. Hanya saja masing-masing
berbeda cara dalam mengatasinya. Ada yang mampu mengelola emosinya dengan baik
sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan merusak. Lalu ada pula
yang melampiaskan emosinya secara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian
banyak pihak baik diri sendiri, keluarga atau orang lain.
Hal yang penting dipahami adalah bahwa tidak semua amarah
atau emosi itu buruk. Adakalanya amarah itu diperlukan pada kondisi tertentu
dan adakalanya amarah itu perlu diredam atau dikendalikan. Jadi amarah tidak
boleh dihilangkan begitu saja, namun jangan pula dilampiaskan sekehendak hati.
Sebab marah itu sesungguhnya salah satu potensi yang dianugerahkan Allah kepada
manusia guna mengatasi problem kehidupan tertentu yang dihadapinya.
Pada sisi inilah manusia diharapkan agar dapat memanfaatkan
potensi itu sesuai pada tempatnya.
Ajaran Islam memberi tuntunan bahwa amarah suatu saat
diperlukan. Misalnya ketika agama Islam dilecehkan, ajarannya dihina,
penganutnya ditindas atau dibantai, kitab sucinya diinjak-injak atau dibakar.
Begitu juga seorang sumai pantas marah jika isterinya berselingkuh atau
menegurnya jika lalai menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Demikian
pula orang tua yang mengetahui anaknya berbuat maksiyat, ia diperbolehkan
memarahi anaknya itu. Karena jika ia bersikap permissive (masa bodoh terhadap
perbuatan asusila), maka ia termasuk golongan “Dayus”, yaitu orang yang
membiarkan anggota keluarganya melakukankemungkaran. Merekalah golongan yang
dilaknat Allah. Naudzu billahi min dzalik.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhori-Muslim, Siti ‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak
pernah marah kepada siapa pun kecuali jika peraturan-peraturan agama dilanggar
oleh seseorang. Akan tetapi marahnya Rosul tidaklah berlebihan. Beliau tetap
mengendalikan dirinya. Setidaknya terlihat mukanya kemerah-merahan atau sedikit
dipalingkan. Seperti ketika Usamah bin Zaid meminta keringanan hukum potong tangan kepada Nabi untuk
seorang wanita bangsawan dari suku Makhzumiah. Lalu Nabi s.a.w. kelihatan marah
seraya berkata: “Apakah kamu mau meminta keringanan terhadap hukum yang
telah ditetapkan Allah ?” Kemudian beliau berpidato: “Sesungguhnya kaum
sebelum kamu binasa dikarenakan bila pemuka mereka mencuri, maka hukum tidak
ditegakkan, tetapi jika yang mencuri itu orang yang lemah (wong cilik), maka
mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad
mencuri, pasti aku potong tangannya.”
Di lain waktu, Rasulullah s.a.w. pernah gusar ketika melihat
dahak pada arah kiblat (H.R.Bukhari-Muslim dari Anas) atau ketika beliau
mendengar laporan bahwa si fulan terlalu lama bacaan shalatnya, sehingga ada
orang tua yang telat shalat Shubuhnya karena enggan bermakmum kepadanya.
Begitulah pengertian marah menurut islam. semoga kita dapat menempatkan marah kita pada hal yang benar dan sesuai dengan ajaran islam. amiin.
Penulis :KH. Cep Herry Syarifudin (Pengasuh Ponpes Sabilurrahim)
Editor : Asep